VMSNEWS.NET – OPINI – ADHI RIADI – Saat ini kita tengah diperhadapkan pada riuhnya dinamika politik jelang pesta demokrasi yang sebentar lagi akan dihelat, terkhusus di kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat, ruang demokrasi saat ini cukup terbuka lebar bagi setiap orang untuk memantaskan diri menjadi orang nomor satu di bumi Manakarra.
Meski demikian, menjadi seorang pemimpin dalam satu daerah tentu harus melewati jalan panjang nan terjal demi mendapatkan mandat dari rakyat itu sendiri, walau dengan berbagai cara, baik dengan mengandalkan kekuatan partai politik, dinasti kekuasaan, sampai pada menyerang lawan politik secara membabi buta, bahkan tak jarang transaksi rupiah yang tak lagi peduli soal halal haram pun ikut meramaikan pesta demokrasi.
Potret buram wajah demokrasi kita saat ini seolah bukan sebuah permasalahan bagi masyarakat maupun calon pemimpin yang telah ikut dalam sebuah pertarungan, kita telah abai pada nilai – nilai luhur yang pernah dititipkan oleh para pendahulu akan pentingnya memilah dan memilih nilai kepantasan seorang pemimpin.
Di Mandar sendiri, sebuah pesan yang mengisyaratkan komitmen moralitas dalam ruang demokrasi yang telah dibahasakan oleh sosok maraqdiia (raja) Balanipa pertama yakni I Manyambungi.
Ia dikenal dengan sebuah diktumnya” Marondong duang bongi anna’ matea, mau ana’u mau appou, da muannai menjari maraqdia mua’ tania to namassayanni litaqna tania tonamassangngi paqbanua. Dimana jika ia dimaknai secara sederhana kalimat ini berarti besok ataupun lusa, dan ajalku telah tiba, meski ia adalah anak dan cucuku, jangan pernah ia dijadikan sebagai pemimpin jika tak mencintai daerahnya (tanah airnya) dan tak mencintai rakyatnya.
Pesan diatas lebih kepada upaya I Manyambungi Todilaling ingin mencoba memutus mata rantai oligarki kekuasaan, sehingga kriteria pemimpin semestinya harus dilihat dari komitmennya dalam membangun daerah (tanah air) dan mencintai rakyatnya itu sendiri.
Jauh hari sebelumnya, sosok I Manyambungi ternyata membenamkan dalam dirinya nilai – nilai demokratis yang semestinya harus diresapi oleh generasi saat ini, hingga dalam setiap kontestasi politik ada perenungan bagi para calon pemimpin maupun rakyat sebagai pemegang kedaulatan siapa yang kemudian layak dan pantas mengemban amanah untuk menunjukkan komitmen kecintaannya pada litaq (daerah/tanah air) dan Paqbanua (rakyat).
Jika sekilas kita menyelami lebih dalam pesan tersebut diatas, cukup mengisyaratkan bahwa itu adalah merupakan manifestasi nilai transendental yang telah di “Bumikan” oleh raja pertama Balanipa dalam ruang kepemimpinan sekaligus dapat menjadi falsafah dalam menapaki perjalanan perpolitikan.
Namun, jika harus berkata jujur pesan tersebut ternyata belum juga mengkristal dalam pikiran dan jiwa kita sampai saat ini, sehingga wajar saja jika setiap momentum lima tahunan hanya akan menyisahkan pesta demokrasi yang jauh dari harapan masyarakat.
Tak hanya itu, pola komunikasi politik dari sejumlah oknum politisi tertentu semakin merusak tatanan nilai yang sudah lama digemakan oleh para pendahulu, mereka kadang menerobos benteng kokoh dari kearifan lokal dengan mudahnya kita menemui pendekatan yang dilakukan untuk meraih simpati dari calon pemilih kadang bertolak belakang dari nilai kearifan dalam suatu daerah.
Di Mamuju sendiri yang sebentar lagi akan berpilkada tentu ada banyak fakta yang justru jauh dari esensi “ke – Mamujuan” kita dikenal dengan perangai yang lemah lembut atau dengan istilah malumu kedo (lembut dalam perbuatan), malumu kana – Kana (lembut dalam perkataan), namun diberbagai ruang kita bisa dengan mudah menemukan saat yang tua tak lagi menjadi penyejuk bagi kaum muda hanya karena perbedaan pilihan, dipanggung – panggung besar terdengar riuhnya parade penghujatan terhadap lawan politik, hingga tak jarang kita bisa menemui karakter kepemimpinan seseorang yang hanya ingin mendikte rakyat dengan kekuasaan dinasti, hingga melibas adab kemanusiaan dan memalingkan wajah pada nilai luhur sebagai orang Mamuju.
Fakta diatas adalah mungkin saja hanya sekelumit, namun ini tentu tak boleh dibiarkan, jika sosok pemimpin melepas identitas kearifan demi hasrat kekuasaan tentu akan menjadi musibah besar pada sebuah daerah yang akan ia pimpin, sikap mengayomi dan menyayangi rakyat jauh hari sudah disampaikan oleh para leluhur terdahulu, namun sayangnya, kita abai dan tak ingin mengimplementasikan dalam segmen kehidupan perpolitikan kita, sebab mungkin saja kita lebih berbangga diri mengadopsi cara berpolitik dari luar ketimbang mengedepankan nilai kearifan daerah kita.
Pada catatan ini, kami ingin menegaskan bahwa kita boleh saja menggunakan topi Eropa, namun tak harus melepas identitas atau jati diri kita yang sesungguhnya hanya karena hasrat kekuasaan. Kurangnya memahami budaya dan nilai kearifan lokal justru melahirkan para politisi yang mengadopsi gaya kampanye dari luar tanpa harus melihat nilai kesesuaian dengan kondisi masyarakat lokal.
Jika seorang pemimpin mendapat suara terbanyak, itu dimungkinkan dirinya telah mampu melakukan komunikasi politik yang melahirkan kesamaan persepsi antara dirinya dengan masyarakat, ia telah memantaskan diri untuk memahami apa yang menjadi keinginan masyarakat dan berkomitmen untuk menyelesaikan semua problem yang terdapat pada mereka.
Pada akhirnya, kami sampaikan bahwa soyogianya seorang pemimpin harus senantiasa membenamkan nilai – nilai kepantasan dalam dirinya yang diambil dari dasar kearifan yang ada dalam daerah kita, terkhusus di Mamuju ini seorang pemimpin harus mampu menjadi pengayom sekaligus mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.
Sikap Arif dan bijaksana sosok pemimpin yang sejak lama digemakan oleh pendahulu kita seperti kalimat “Kakkarang Pani’mu Pebalung Saramu” dimana ini mencerminkan semangat serta keteguhan bagi orang Mamuju dalam menghadapi suatu problem baik secara pribadi maupun secara umum. Sehingga jika falsafah ini ditarik dalam ruang kepemimpinan maka kita bisa saja menyebut ” Kakkarang Pani’mu Namampebalung Sarana To Mamuju”.
Idealnya Seperti Itu, Semua Kabupaten Mesti Terlibat
“Saatnya Tindak Tegas Sabotase Ekonomi, Seruan pengusaha untuk Menjaga Stabilitas Nasional”
PJ Gubernur Sulbar Dukung Salabose Jadi Wisata Religi