VMSNEWS.NET – OPINI – PENULIS – Muhammad Yunan – (Dosen STAIN Majene) – Berawal dari peristiwa yang terjadi di dalam perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pemerintahan yang sah melawan Muawiyah, gubernur yang memberontak. Dalam perang yang sedang berkecamuk, pasukan Muawiyah sudah hampir bisa dilumpuhkan oleh pasukan Ali. Namun saat menyadari keadaan itu, tiba-tiba dari pasukan Muawiyah terangkat tinggi-tinggi mushaf al-Quran yang ia tusuk dengan menggunakan tombak, sambil meneriakkan slogan “Lahukma illallah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah).
Menyaksikan pemandangan itu, sekelompok pasukan Ali mendatangi Ali dan meminta untuk menghentikan peperangan. Mereka beralasan bahwa Muawiyah meminta jalan damai lewat tahkim. Ali yang sebelumnya tidak pernah alpa dalam peperangan-peperangan di masa kenabian, yang memiliki banyak pengalaman dalam setiap peperangan di masa kenabian, menasihati mereka bahwa itu hanyalah tipu muslihat Muawiyah untuk menghindari kekalahan yang sebentar lagi akan ia terima. Namun karena mereka terus mendesak yang menimbulkan perpecahan sikap di kalangan pasukan Ali, pada akhirnya untuk menghindari perpecahan pasukannya, perang pun dihentikan dan Ali menerima tawaran tahkim sebagai jalan untuk mengakhiri perang. Pihak Ali bin Abi Thalib mengirim Abu Musa al-Asy’ari, sementara Muawiyah mengirim Amr bin Ash. Masing-masing bertugas sebagai perwakilan dalam tahkim.
Apa yang sebelumnya terbaca dalam pikiran Ali ternyata terbukti. Amru bin Ash memanfaatkan momen tahkim dengan cara licik. Ia mengelabui Abu Musa al-Asy’ari. Amru bin Ash menjadikan tahkim sebagai kesempatan merebut kekuasaan yang sah di tangan Ali. Tak kala tersadar dari tipu muslihat tersebut, sekelompok pasukan Ali yang tadi memaksa mengentikan perang akhirnya kecewa dengan hasil keputusan tahkim. Mereka memilih keluar dan memisahkan diri dari barisan pendukung pemerintahan yang sah sambil menyalahkan Ali dan Muawiyah pada peristiwa tersebut. Di kemudian hari, kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij.
Mereka kelompok khawarij adalah orang-orang yang dikenal jujur dan sangat tekun dalam beribadah. Dahi mereka menghitam karena begitu rajinnya sujud. Mereka adalah para penghafal al-Quran yang sangat fasih dalam bacaannya. Bacaan al-Quran mereka baik dan indah. Tetapi bacaan-bacaan tersebut hanya sampai di kerongkongan. Al-Quran yang mereka hafal tidak sampai menembus ke dalam hatinya, ayat-ayat yang mereka hafal tidak mereka pahami dengan benar. Mereka beragama dengan penuh hawa nafsu dan emosi. Karena dampak buruk yang ditimbulkan, di masa kepemimpinan Ali sebagai khalifah keempat, Khawarij pernah diperangi dalam peristiwa perang nahrawan dalam catatan sejarah.
Berawal dari kekecewaan mereka dalam perang shiffin, mereka menganggap bahwa semua pihak yang berbeda pandangan dengannya adalah bersalah, kafir dan halal darahnya. Termasuk Khalifah Ali bin Abi Thalib. Meski demikian, kelompok Khawarij ini sadar betul, bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah lawan sepadan mereka saat berhadapan di dalam medan laga. Ia juga mengenal betul karakter Ali di malam hari. Mereka tahu bahwa Ali adalah seorang budak tangisan dalam mihrab ibadahnya. Saat beribadah, Ali larut dalam kekhusyu’an bersama Tuhannya. Dari sisi inilah rencana jahat Khawarij itu dimulai.
Tepat di hari Jumat, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriyah, di Masjid Agung Kufah (Iraq), Sayyidina Ali yang sedang larut dalam kekhusyuan ibadahnya, tiba-tiba diserang oleh Abdurrhman bin Muljam. Saat itu, Ali sedang dalam posisi bersujud ketika mendirikan shalat subuh. Kepalanya terluka parah menembus otaknya oleh sabetan sebilah pedang tajam Ibnu Muljam yang berlumur racun mematikan. Saat menadapat tebasan pedang Ibnu Muljam, Ali tidak mengaduh, ia malah berseru, “Fuztu warabbal Ka’bah” (Beruntunglah aku demi Tuhan Pemilik Ka’bah). Suara kemenangan itu keluar dari mulut Ali, seolah menyambut dan merayakan keyahidan yang sebentar lagi akan ia peroleh.
Innalilahi wainnailaihi Raji’un. Ali yang dikenal sebagai putra ka’bah, pintu gerbang ilmu kenabian, pendekar di medan laga, budak tangisan di mihrab ibadah, pengayom anak yatim dan kaum mustadh’afin, kini telah terkapar bersimbah darah. Beberapa hari kemudian, tepat di tangal 23 Ramadhan, ia menjemput syahadanya, menghembuskan nafas terakhirnya.
Saudaraku saudariku sekalian. Abdurrahman bin Muljam adalah tokoh sentral orang radikalis di masa sahabat Nabi saw. Semangat beragamanya menyala-nyala, namun tidak dibarengi oleh pengetahuan yang memadai, bahkan berani menyalahi ahlinya. Karena pemikiran yang sempit dan gegabah, Ali sebagai pintu gerbang ilmu kenabian pun berani ia vonis kafir dan dialirkan darahnya. Sosok Abdurrahman bin Muljam telah mendapat hukum qishash yang setimpal atas perbuatannya, tetapi karakternya masih selalu muncul dalam perjalanan sejarah. Karakternya diwakili oleh mereka kelompok radikalis yang lidahnya tidak hanya fasih dalam urusan agama, tetapi juga sangat fasih dan sibuk mengkafirkan, menyesatkan dan bahkan berani menghalalkan darah saudara seiman yang berbeda pendapat dengannya. Olehnya itu, waspadalah! waspadalah! Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Idealnya Seperti Itu, Semua Kabupaten Mesti Terlibat
“Saatnya Tindak Tegas Sabotase Ekonomi, Seruan pengusaha untuk Menjaga Stabilitas Nasional”
Penyuluh Agama di Kalumpang Mamuju Sinwan Jadi Wakil Sulbar pada MTQN VII Korpri