Urgensi Budaya Untuk Penguatan Kebangsaan

Adhi Riadi.

VMSNEWS.NET OPINIADHI RIADI – Jika membincang persoalan kebudayaan, tentu ada banyak cara yang dapat digunakan sebagai basic metodologi, seperti dengan pendekatan antropologi dan filsafat.

Budaya pada dasarnya senantiasa terkait dengan kehidupan manusia, hal itu dikarenakan perilaku budaya, pencipta dari sebuah karya yang menjalani kehidupannya itu adalah manusia. Sehingga dalam dunia antropologi maupun filsafat, dalam mendefinisikan manusia keduanya punya kesamaan, letak kesamaannya adalah masing – masing melihat manusia sebagai makhluk sosial, atau dengan istilah Aristoteles manusia adalah Zoon Politicon yakni sebagai makhluk sosial.

Budaya Dalam Persfektif Antropologi.

Kebudayaan merupakan salah satu topik yang senantiasa dibincang oleh para antropolog, betapa tidak, hal ini disebabkan oleh adanya sebuah fakta atas kondisi masyarakat atau komunitas yang dimana dalam perjalanan sejarahnya mengalami dinamika yang berbeda – beda sehingga berimplikasi pada terjadinya sebuah perubahan secara signifikan pada nilai tradisi maupun interaksi dalam satu komunitas atau masyarakat, Artinya, kenyataan ini menuntut kita agar senantiasa dapat menggali  nilai originalitas kebudayaan dalam suatu masyarakat atau komunitas.

Setiap gugus pengetahuan yang membahas manusia, pelbagai dimensi wujudnya, serta komunitas besar kecilnya dapat disebut dengan “antropologi” (Baca Horison Manusia DR. Mahmoud Rajabi), sehingga dari hal ini, mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa  perspektif antropologi, memandang budaya harus dilihat secara holistik, tidak hanya dalam satu aspek semata.

Secara spesifik antropologi membagi dua kategori dalam memandang budaya, yang pertama adalah budaya harus dilihat dari segi waktu atau sejarah dan kedua adalah harus dilihat dalam dimensi kemanusiaan.

Dalam setiap budaya, ada dimensi kemanusiaan yang ikut memberikan kontribusi ataukah hal yang melandasi terjadinya sebuah konsensus manusia tentang sebuah budayanya. Budaya tentu tidak hanya berfokus pada satu aspek saja, seperti adat – istiadat semata, tidak hanya bicara pada aspek tradisi dari satu masyarakat tertentu, dan juga tidak hanya bicara pada sebuah seni saja, namun akumulasi dari tiga hal tersebut, dipandang secara umum oleh para antropolog. Mereka memandang bahwa perilaku – perilaku kebudayaan selalu membawa dimensi – dimensi kemanusiaan yang ada didalamnya, yang tidak hanya bersifat cerita dari cerita yang kemudian diukir dalam sejarah, tetapi kadang dalam satu tradisi atau adat istiadat kita tidak bisa menangkap dimensi kemanusiaan, termasuk dimensi pesan yang sifatnya transendental dan nilai religiutas yang terselip didalamnya.

Salah satu contoh yang dapat kita lihat, sebut saja tenun Seko Mandi yang ada di Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat, dimana  jika kita telisik lebih dalam, maka kita akan menemukan sejumlah nilai – nilai religiutas yang terdapat pada setiap motif  kain tenun tersebut, terlepas dari agama satu ke agama yang lain, atau mazhab yang satu ke mazhab lainnya, bukan disitu poin utamanya, namun semestinya dalam memandang dimensi religiutas itu harus secara global.

Tentu sangat berbeda dengan pandangan kaum empiris, jika kita melihat sekarang, seperti tenun Seko mandi itu mungkin kita hanya melihatnya sebatas tenunan, sebatas aksesoris, dan ada begitu banyak pelaku dipasaran yang membuat tenunan tersebut, hanya sebatas pakaian biasa. Namun kita tidak pernah memantik apa pesan yang disampaikan dari setiap motif yang terdapat didalamnya, sementara ternyata ada nilai tersendiri, pesan – pesan kemanusiaan yang tersirat pada setiap motifnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tradisi atau adat istiadat yang merupakan hasil dari sebuah perilaku manusia senantiasa menyimpan nilai, sehingga ketika melihat yang namanya budaya, tradisi dalam suatu masyarakat tertentu, tidak bisa dilihat hanya sebatas kasat mata saja, namun ia harus dilihat secara keseluruhan dan jauh lebih dalam. Hal inilah yang mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa dalam setiap kebudayaan, senantiasa mengandung nilai religiutas atau pesan – pesan kemanusiaan.

Jurgen Habermas dalam teori kritisnya yang menyebutkan bahwa salah satu kekeliruan manusia hanya melihat fakta sosial dari sisi pandangan panca Indra saja, dimana fakta sosial itu hanya fakta empirik semata. Sementara, Bagi filsuf dan sosiolog asal Jerman ini meyakini dibalik fakta sosial, ada sisi lain yang ia sebut dengan istilah  ” Meta Empirik ” ada terselip sesuatu yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, namun dia bisa diungkap secara aqlia, sehingga kita menemukan suatu nilai, satu pesan dibalik sebuah tradisi itu.

Dari pandangan Hebermars tersebut, mengajak kita untuk berusaha melihat setiap sisi kebudayaan secara objektif, mengungkap nilai – nilai transendal yang ada pada setiap kebudayaan, bukan justru hadir menghakimi secara membabi buta hanya karena ketidak mampuan kita menyelami secara dalam hakikat setiap kebudayaan yang ada dengan berdasarkan pada paradigma positifistik.

Budaya Dalam Persfektif Filosofis.

Jika budaya ditarik dalam pandangan secara filosofis, maka dari dua aspek pandangan antropologi yang sebelumnya telah disampaikan yakni dari aspek waktu (sejarah) dan dimensi kemanusiaan, maka secara filosofis ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat lebih konprehensif ihwal nilai yang ada dalam setiap kebudayaan.

Pendekatan pertama adalah pendekatan sejarah tradisional, dimana para sejarawan hanya mampu menceritakan para pelaku, kejadian sesuatu. Tetapi, apa dibalik kejadian itu tidak diungkap. Yang kedua adalah sejarah ilmiah, dimana ia mengurai suatu pendekatan sains dalam mendeskripkan suatu budaya, namun, kadang masih terjebak pada persoalan data – data empirikal semata, tidak menjelaskan secara konfrehensif kenapa sesuatu itu terjadi.

Selanjutnya adalah falsafah sejarah, pendekatan inilah yang digunakan untuk menelisik lebih dalam nilai – nilai filosofis yang ada dalam setiap budaya, ia mencoba menggali secara mengakar apa makna yang terkandung dalam setiap tradisi kebudayaan yang tak dapat diungkap dengan kasat mata.

Setelah kita mencoba mengurai secara sederhana dua pendekatan antara antropologi dan filsafat dalam memahami kebudayaan, maka kita akan mencari relevansi kebudayaan dalam upaya menguatkan nilai kebangsaan.

Kita Indonesia sudah sampai pada four Point  Zero atau Revolusi industri 4.0 yang merupakan fase keempat dari perjalanan revolusi industri yang di mulai pada abad ke 18 dengan dengan pendekatan sains, sementara di Jepang, mereka sudah sampai pada Fife Pont Zero atau Industri 5.0, dimana dunia teknologinya sudah lebih jauh dimanfaatkan untuk penguatan basis kemanusiaan, ada hal yang utama yang mereka perjuangkan, bahwa teknologi ketika kebablasan bisa menghancurkan manusia, sehingga nilai kearifan lokalnya mereka jadikan sebagai basic religius untuk mengkanalisasi penggunaan teknologi yang kebablasan.

Bagi Jepang, dalam membendung kemajuan teknologi yang kemudian dapat menciptakan produk seperti hoax dan proses dehumanisasi, maka salah satu jalan yang harus dilakukan adalah kearifan lokal kemudian dijadikan sebagai tapis atas melajunya hoax dan praktek dehumanisasi. Sehingga bukan tidak mungkin sebagai upaya menguatkan kebangsaan kita, maka kita pun harus mampu menjadikan nilai kearifan lokal diera teknologi saat ini yang sudah mulai kebablasan.

Terkhusus kita di Indonesia, perlu dipahami bahwa ada begitu banyak kearifan lokal yang tidak bersinggungan dengan ajaran agama kita, dimana semua agama tentu mengajarkan kebaikan terlepas persoalan penyembahan, sebab itu bukan hal yang urgen, karena jika berbicara budaya kaitannya dengan agama bukan persoalan hukum – hukum praksis (fiqh), bukan persoalan halal – haram, sesat dan non sesat, namun lebih kepada dimensi nilai – nilai kebudayaan yang bisa diambil segabagai landasan normatif dalam bertingka laku, bertutur kata, serta dalam bersikap.

Dengan dua pendekatan tersebut antara antropologi dan filosofis yang sebelumnya diulas, memungkinkan kita untuk bisa mengamati, melakukan riset lebih dalam  dan mengambil sebuah intisari – intisari dari budaya itu sendiri, sehingga kita bisa menjadikan kearifan lokal sebagai landasan normatif untuk penguatan kebangsaan kita. Meskipun disadari bahwa ada banyak corak kebudayaan dari berbagai daerah, tetapi yang kita utamakan adalah lebih kepada menarik nilai kearifan yang terdapat pada setiap kebudayaan tersebut untuk dijadikan sebuah landasan norma berbangsa dan bernegara tanpa harus mengedepankan ego sektoral kedaerahan.

Kita ketahui bersama bahwa manusia pada dasarnya senantiasa bergerak pada dua sisi, pertama adalah ada sisi jasmaniah dan sisi rohania. Artinya apa, kedua sisi ini juga akan berorentasi kepada perilaku sosial kita, akan berimplikasi pada hubungan kita kepada orang lain, dimana jika tidak ada nilai etik normatif, maka seseorang akan melakukan sesuatu sesuka hatinya sehingga orang hidup bebas dan tidak punya kanalisasi bahwa ini baik dan ini buruk. Disitulah pentingnya kearifan lokal untuk kembali di kaji, kita angkat kepermukaan, ditelisik satu persatu nilai kearifan yang tersimpan didalamnya, nilai kebijaksanaan lalu kita jadikan sebagai landasan normatif untuk membangun negara dan bangsa kita.

Budaya Dalam Konsep Kebangsaan.

Bangsa Indonesia terdiri dari 500-an suku yang tersebar lebih dari 17 ribu pulau, belum lagi keragaman bahasa, adat istiadat dan sebagainya,
artinya, pada titik ini kita menemukan keragaman yang berpotensi menciptakan perpecahan anak bangsa di satu sisi, dan disisi yang lain bisa menjadi potensi yang bisa menguatkan anak bangsa jika negara mampu mengelola keragaman ini dengan baik.

Sekaitan dengan pengelolaan tersebut, kita melihat di undang – undang dasar Negara Republik Indonesia, ada beberapa kali mengalami amandemen, dimana dari amandemen tersebut kemudian memasukkan budaya agar bisa diakui secara resmi sebagai bagian dari negara. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia memiliki banyak keragaman budaya yang perlu dikelola dengan baik sehingga menjadi energi positif yang mampu menguatkan bangsa, jika hal ini juga tidak terkelola dengan baik maka bukan tidak mungkin bisa memicu terjadinya perpecahan anak – anak bangsa.

Indonesia jika kita berbicara pada sejarah administrasi pemerintahan maka kita akan sampai pada sebuah pemahaman bahwa sebenarnya adalah kelanjutan dari Hindia – Belanda, dimana Belanda- lah yang mampu menaklukkan kerajaan – kerajaan yang ada di Nusantara yang kemudian di gabung menjadi Hindia Belanda, lalu menjadi Kabupaten, Kecamatan, Provinsi dan seterusnya. T

Muncul sebuah pertanyaan bahwa apa yang mempersatukan para pendahulu kita di masa lalu ?, itu karena adanya kesamaan nasib, senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah. Dengan memahami seperti ini, maka kita tidak akan lagi melihat mayoritas dan minoritas dalam keragaman budaya kita, namun kita memperlakukan anak – anak bangsa dalam sebuah falsafah yang dikenal ” Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah”.

Sebuah Refleksi Singkat History Pengembangan Kebudayaan. 

Jika sekilas kita menelisik di era Orde Lama dimana kita tidak bisa mengatakan bahwa di era itu pengembangan kebudayaan kita maksimal, hal itu dikarenakan ada begitu banyak pemberontakan – pemberontakan yang terjadi, di era Orde Baru pun demikian, meskipun tidak ada pemberontakan, negara relatif stabil, akan tetapi penguatan kebudayaan itu menjadi agak lemah. Kemudian masuk di era Reformasi, eksistensi lembaga adat kemudian menjadi perhatian oleh pemerintah, seperti yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman pengaturan mengenai Desa pada Bab V Lembaga Lain pasal 39  ayat (1) Pemerintah daerah harus mengakui dan menghormati adat istiadat diwilayahnya sebagaimana dimaksud oleh undang – undang nomor 39 Tahun 1999 tentang hak azasi manusia. Ayat (2) Pemerintah daerah dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat diwilayahnya.

Kemunculan lembaga adat tersebut spiritnya adalah bagaimana mengangkat nilai lokalitas masing – masing daerah, keragaman ini telah mempunyai ruang aktualisasi diri yang bisa menjadi sarana pelestarian budaya, diberbagai regulasi di negara ini tentu tujuannya adalah untuk mengatur bagaimana relasi pengelolaan budaya ini untuk penguatan kebangsaan.

Telaah Realitas Kekinian.

Jika kita melihat saat ini, dimana generasi yang paling tua adalah usia berkisar 70 – 80 -an, yang  tidak mendapatkan pendidikan budaya yang cukup, kita bisa saja mendapatkan fakta atas kurangnya pendidikan budaya, kadang kita menggunakan bahasa daerah tetapi sudah bercampur dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah kita kadang sudah tidak original. Hal itu disebabkan rantai sejarah yang panjang dimana ada begitu banyak praktek – praktek budaya yang kita tinggalkan dan lupakan. Belum lagi di era keterbukaan saat ini begitu banyak pengetahuan baru yang masuk, sehingga mengakibatkan dinamika antara pengetahuan – pengetahuan dengan sisah – sisah pengetahuan terdahulu yang belum terpahami dengan baik yang kemudian dihakimi dengan pengetahuan baru tersebut yang hanya didapat diberbagai sumber seperti sosial media mengakibatkan adanya distorsi pengetahuan kebudayaan yang original.

Eksistensi Kebudayaan Diera Teknologi.

Terkhusus kita yang ada di Nusantara ini, ada beberapa daerah ditemukan beberapa bukti bahwa pernah membuat senapan, pernah membuat meriam, atau ada semacam pabrik persenjataan. Hal ini membuktikan bahwa nenek moyang kita sebenarnya mampu mengadopsi ilmu pengetahuan, hanya tidak mampu berkembang dengan baik karena dihabisi oleh para penjajah Belanda.

kita generasi yang bersekolah ini telah terwariskan kepada kita sebuah paradigma positifistik yang indikator kebenarannya harus empiris dan terukur, sehingga kita kadang melekatkan bahasa kepada kebudayaan kita seperti irasional, ketinggalan zaman, kolot dan lain – lainnya.Hasilnya secara perilaku kita kemudian mencoba mengikuti orang – orang yang kita anggap maju, sehingga akibatnya kita akan menjadi pribadi yang lain.

Kita lihat bagaimana bangsa – bangsa lain di dunia ini seperti Amerika, Cina, Korea, India, Jepang semua rajin mengekspor budayanya ke Indonesia, sementara kita sendiri melihat budaya kita kurang apresiasi, kita meninggalkan budaya kita dengan alasan ketinggalan zaman sehingga tak salah jika kita semakin kehilangan jati diri.

Jika kemudian anak bangsa tidak percaya diri dengan budayanya, selalu ingin mengikuti budaya – budaya yang lain, maka sehebat – hebatnya kita akan selalu menjadi bangsa pengikut, oleh karena itu, agar kita bisa mandiri menjadi bangsa yang kuat ditengah percaturan politik dunia maka kita harus mengambil spirit dari kebudayaan kita dengan kemajuan teknologi yang tentu dengan Iman, agama kita masing – masing memadukan ketiga unsur ini agar kita bisa menjadi bangsa yang kuat .

Pada akhirnya, sebagai penutup dari catatan ini, tentun merupakan sebuah tanggung jawab kita bersama untuk senantiasa kembali pada penguatan nilai – nilai kebudayaan sebagai salah satu upaya penguatan kebangsaan dalam menghadapi era saat ini.

Catatan sederhana ini merupakan hasil rangkuman dari diskusi online yang digagas oleh Manakarra Progresif, Sempugi, Manurung Cultural Center Sulbar, HMI Cabang Manakarra dan Pojok Baca pada Sabtu 18 April 200 lalu yang menghadirkan dua pemantik yakni Syarifuddin Mandegar sebagai direktur executif MCC Sulbar dengan salah satu pemerhati budaya Andi Rahmat Munawar.


About Author

Spread the love